Senang! Kembali terdapat tulisan menarik karya mahasiswa. Adapun tulisan ini bercerita mengenai fenomena yang ditemui mahasiswa ketika melaksanakan tugas mata kuliah Economics of Poverty, yaitu tugas mewawancarai anggota masyarakat yang dipersepsikan miskin. Poin menarik dari tulisan ini adalah bahwa penulis menekankan perhatiannya lebih kepada generasi muda miskin, yaitu anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan di keluarga miskin, yang otomatis dikelilingi oleh lingkungan intervensi yang tidak hanya miskin secara ekonomi, namun juga besar kemungkinan, miskin dalam hal pola pikir. Mengapa pola pikir?
Masyarakat miskin pada umumnya:
- tidak memberi nilai yang besar (tidak memandang penting) keperluan masa depan, mereka cenderung fokus untuk bertahan hidup hari ini, bukan untuk mengisi kehidupan, atau, focus to survive life instead of to live life;
- masyarakat miskin juga umumnya tidak memberi nilai yang tinggi bagi pendidikan dan gizi anak, yang kemudian berujung pada terbatasnya kemampuan anak tersebut untuk meraih dan menikmati taraf kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya.
Adapun sistem nilai yang berlaku umum pada masyarakat miskin tersebut, lebih disebabkan pada ketidaktahuan mereka atas adanya cara untuk memperbaiki keadaan, jika bukan untuk keadaan mereka sendiri setidaknya untuk keadaan anak-anak mereka. Cara paling sederhana adalah, dengan membatasi jumlah anak yang dimiliki. Pendeknya, bukan hanya masyarakat miskin secara umum saja yang perlu dipikirkan cara penanganannya, namun secara khusus, penanganan untuk generasi muda miskin juga perlu dipikirkan agar kualitas hidupnya dapat lebih baik daripada orang tuanya. Fenomena inilah yang diangkat oleh mahasiswa melalui tulisan berikut. Semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama dalam mencari jalan untuk memuseumkan kemiskinan, khususnya kemiskinan absolut karena kemiskinan relatif tidak akan pernah ada habisnya. Akan selalu ada langit di atas langit, betul?
Even the so called poor man could have three wifes
Written by: Laras Sekarani

On one hot sunny day in Jakarta, I went to a traditional market near my house. As soon as I get there, I started to look around to find my target. Actually, I interviewed more than one people for this assignment, there are becak rider, bakso seller, a nice lady who sells gudeg and a few more. But I choose this one story to write because I think this is the most interesting interview that I got so far. I met him at a coffee shop, not a fancy one, in this situation it means warung kopi in Indonesian language. I sat there and ordered a coffee and that man sat next to me.
He is a taxi driver, but not a well-known brand of taxi. He has his own house, it is inherited from his mother. He earns about Rp.20.000 to Rp.30.000 per day. I think this amount is not enough but I see there are many other people live with less amount of money. For some people that I interviewed, this amount is enough to live a very simple life but for him this income is not enough because he has three wives and five children. I was very shocked. Continue reading “Bahkan si Miskin pun Dapat Beristri Tiga” →